Istilah "jilboob" mungkin terdengar asing atau bahkan kontroversial bagi sebagian orang, namun fenomena ini nyata dan telah menjadi perbincangan hangat di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Istilah ini merupakan gabungan dari kata "jilbab" dan "boobs" (payudara), yang merujuk pada gaya berbusana seorang wanita yang mengenakan penutup kepala atau jilbab, namun pada saat yang sama memakai pakaian yang sangat ketat sehingga lekuk tubuhnya, terutama di bagian dada, terlihat jelas.
Fenomena yang mulai mencuat sekitar tahun 2014 ini memicu perdebatan sengit di ruang publik dan media sosial. Banyak yang melihatnya sebagai sebuah evolusi atau tren dalam fashion muslimah, di mana para wanita mencoba memadukan kewajiban agama dengan gaya modern. Namun, tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai sebuah "salah kaprah" atau kesalahpahaman fundamental terhadap esensi dan tujuan utama dari perintah menutup aurat dalam ajaran Islam. Pertanyaannya, di manakah kita harus menempatkan fenomena ini? Apakah sekadar tren yang akan berlalu, atau sebuah cerminan dari pergeseran pemahaman dalam praktik beragama?
Salah satu akar permasalahan dari fenomena jilboob adalah penyempitan makna jilbab itu sendiri. Berdasarkan riset dan wawancara yang dilakukan, seperti yang tercatat dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa di Lampung, muncul anggapan bahwa busana muslimah disamakan dengan sekadar kerudung atau penutup kepala. Ini adalah sebuah salah kaprah yang fatal dan perlu diluruskan secara mendasar.
Dalam syariat Islam, perintah berhijab bukan hanya soal menutupi rambut. Hijab adalah sebuah sistem berbusana yang utuh, mencakup pakaian yang longgar, tidak transparan, dan tidak membentuk atau menonjolkan lekuk tubuh. Tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita, serta untuk menghindari pandangan yang tidak semestinya, bukan justru menarik perhatian pada bagian-bagian tubuh tertentu.
Ketika seorang wanita mengenakan kaus ketat atau gaun bodycon yang dipadukan dengan jilbab, ia memang telah menutupi rambutnya. Namun, ia belum memenuhi esensi dari menutup aurat secara sempurna. Fenomena jilboob menjadi contoh paling nyata dari praktik "membungkus aurat", bukan "menutup aurat". Tubuh yang seharusnya terlindung dari pandangan justru dibalut sedemikian rupa sehingga siluetnya tercetak jelas, yang mana hal ini bertentangan dengan filosofi utama di balik hijab.
Tidak bisa dipungkiri, fenomena jilboob juga didorong oleh derasnya arus tren fashion global dan komersialisasi busana muslim. Dalam satu dekade terakhir, industri fashion muslim di Indonesia mengalami ledakan kreativitas. Para desainer, seperti Dian Pelangi dan Ria Miranda, berhasil membawa citra jilbab dari yang kuno menjadi modern, chic, dan diterima secara luas.
Namun, di sisi lain, dorongan untuk terus berinovasi dan memenuhi selera pasar yang beragam terkadang mengaburkan batas-batas syar'i. Banyaknya tren jilbab modern yang diusung oleh para desainer dan influencer menjadikan fenomena hijab ini semakin menjauh dari kaidah aslinya. Pasar dibanjiri dengan produk yang diberi label "busana muslimah" namun tidak sepenuhnya memenuhi kriteria, seperti celana legging, blus berbahan kaus ketat, atau gamis dengan potongan yang terlalu pas di badan.
Merek-merek besar, baik lokal maupun internasional seperti UNIQLO dengan lini Modest Wear-nya, turut meramaikan pasar ini. Mereka menawarkan pakaian yang nyaman dan stylish, yang kemudian dipadupadankan oleh konsumen sesuai selera mereka. Kombinasi antara jilbab instan modern dengan atasan ketat menjadi pilihan bagi sebagian kalangan yang ingin tampil praktis dan tetap "trendy", tanpa menyadari sepenuhnya implikasi dari pilihan gaya tersebut.
Media sosial memegang peranan krusial dalam mempercepat penyebaran tren ini. OOTD (Outfit of The Day) dari para selebgram berhijab menjadi acuan bagi jutaan pengikutnya. Ketika gaya yang ditampilkan adalah perpaduan jilbab dengan pakaian ketat dan hal itu mendapatkan ribuan "likes", maka secara tidak langsung gaya tersebut ternormalisasi dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bisa ditiru.
Mengapa seseorang memilih gaya jilboob? Jawabannya kompleks dan tidak bisa digeneralisasi. Salah satu faktor utamanya adalah kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai fiqih (aturan) dan filsafat berbusana dalam Islam. Bagi sebagian orang, berjilbab adalah sebuah identitas atau bahkan kewajiban sosial, namun pemahaman teknis mengenai apa yang boleh dan tidak boleh seringkali masih dangkal.
Selain itu, ada pula faktor psikologis, yaitu keinginan untuk tetap merasa relevan dan diterima dalam pergaulan modern yang sangat dipengaruhi oleh standar kecantikan Barat. Tekanan untuk menampilkan bentuk tubuh yang dianggap "ideal"—ramping namun berisi—bertemu dengan kewajiban untuk menutupi kepala. Hasil komprominya adalah gaya jilboob: kepala tertutup, namun lekuk tubuh tetap dipamerkan.
Penting untuk dicatat, sebagaimana yang diungkapkan dalam diskusi publik, bahwa fenomena ini memang tidak bisa dicegah atau dilarang secara paksa. Melarang gaya berbusana seseorang adalah pendekatan yang tidak efektif dan justru bisa menimbulkan resistensi. Pendekatan yang lebih bijak adalah melalui edukasi dan dialog yang berkelanjutan, tanpa menghakimi individu yang melakukannya.
Upaya pelurusan pemahaman ini menjadi tanggung jawab bersama, mulai dari keluarga, institusi pendidikan, para pemuka agama, hingga para pelaku industri fashion itu sendiri. Para desainer dan influencer memiliki pengaruh besar untuk mengarahkan tren fashion muslim ke arah yang lebih sesuai dengan kaidah syar'i, yaitu busana yang sopan, longgar, dan elegan tanpa harus menonjolkan bentuk tubuh.
Fenomena jilboob adalah persimpangan rumit antara niat baik untuk menjalankan perintah agama, tekanan tren fashion global, kekuatan komersialisasi, dan pemahaman yang terkadang belum utuh. Ia mencerminkan perjuangan internal banyak muslimah modern dalam menavigasi identitas mereka di dunia yang terus berubah. Meskipun dari sudut pandang fashion ini bisa dianggap sebagai sebuah tren, dari perspektif syariat Islam, gaya ini jelas merupakan sebuah salah kaprah yang fundamental karena menyimpang dari tujuan utama berhijab, yaitu untuk menjaga kesederhanaan dan kehormatan.
Pada akhirnya, perdebatan seputar jilboob bukanlah untuk menghakimi pilihan personal, melainkan sebuah ajakan kolektif untuk merefleksikan kembali makna sesungguhnya dari berbusana secara Islami. Ini adalah momentum untuk memperdalam ilmu dan pemahaman, sehingga praktik berhijab tidak hanya berhenti pada selembar kain di kepala, tetapi menjadi cerminan dari ketakwaan dan pemahaman yang utuh, bergerak dari sekadar tren menuju esensi yang sebenarnya.